Total Tayangan Halaman

Jumat, 01 April 2011

ABH ANOM, guru mursyid TQN

Tidak banyak manusia yang mendapat anugerah berupa usia panjang dari Allah SWT. Dan di antara yang tidak banyak itu hanya sedikit yang masih mampu berinteraksi dengan sesama. Tapi, tokoh Tamu Kita kali ini, menjelang satu abad usianya, tidak hanya selalu bersilaturahmi, tapi juga masih mampu menebarkan mutiara hikmah dan berkah – meski dalam keadaan tertunduk diam. Itulah K.H. A. Shohibulwafa Tajul Arifin, yang lebih terkenal dengan sebutan Abah Anom, sesepuh Pondok Pesantren Suryalaya, Desa Godebag, Pagerageung, Panumbangan, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Abah Anom memang sebuah fenomena di jagat spiritual Indonesia. Kedudukannya sebagai mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, sekaligus ulama sepuh, membuatnya menjadi tempat berteduh bagi jiwa manusia yang dahaga. Tak kurang, para petinggi negara dan selebriti memerlukan diri untuk sowan kepadanya, baik untuk konsultasi spiritual, mengadukan permasalahan pribadi, maupun sekadar mendapatkan legitimasi. Sebagai orang tua yang telah kenyang dengan asam garam kehidupan, dengan arif Abah Anom menerima tamu-tamunya – siapa pun mereka, dan apa pun kepentingannya. Hidupnya dengan ikhlas ia persembahkan untuk melayani umat manusia.

    Ada sebuah cerita menarik dari K.H. Zainal Abidin Anwar, kemenakan Abah Anom yang juga salah seorang wakil talkin – orang yang dipercaya oleh mursyid tarekat untuk mewakilinya mengajarkan zikir. Dua tahun lalu khalifah tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Amerika Serikat, Syeh Nadzim Haqqani, bertamu ke Suryalaya. Kunjungan itu dipandu oleh Ketua Dewan Tertinggi Jam’iyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah, Habib Luthfi bin Yahya. Ketika itu Syeh Nadzim mengaku mengenal Abah Anom melalui ilham yang diperolehnya ketika memohon petunjuk kepada Allah SWT.

    Katanya, di tengah kehidupan dunia yang carut marut seperti sekarang ini, masih ada seseorang di Timur yang sangat ikhlas. Siapakah dia? Setelah dirunut, petunjuk itu mengarah kepada seorang ulama sepuh, yang kini usianya baru saja melewati 90 tahun (dalam hitungan kalender Masehi) atau mendekati 100 tahun menurut kalender Hijri. Setelah pertemuan yang mengharukan itu, terjadilah peristiwa yang sarat dengan bahasa isyarat.
    Syekh Nadzim Haqqani mengeluarkan sebuah peluit kecil. Ia minta agar Abah Anom meniupnya: “priiit...!” Setelah itu gantian Syekh Nadzim Haqqani, mungkin sebagai makmum, meniup peluit tersebut: “priiit...!” Tak seorang pun yang tahu apa makna isyarat itu. “Saya juga tidak tahu. Tapi mungkin maksudnya sebagai ikrar bersama untuk tetap teguh berjalan di atas kebenaran Allah,” kata Kiai Zaenal, yang bertindak sebagai penerjemah.

    Dalam pertemuan itu juga muncul sebuah isyarat yang luar biasa, ketika Syekh Nadzim Haqqani, dalam bahasa Inggris, berkata, “Sesungguhnya kami tidaklah memerlukan penerjemah. Sebab apa yang saya kemukakan sesungguhnya sudah dimengerti oleh Abah Anom, karena sebelumnya kami sudah berkomunikasi secara spiritual. Biarpun Abah tertunduk seperti itu sebenarnya beliau tidak tidur, tapi dapat mendengarkan dengan baik.”

Abah Anom sejak muda sudah zuhud, di antaranya pantang makan daging dan selalu minum air putih. Ia putra kelima K.H. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad alias Abah Sepuh dari istri kedua, Hj. Juhriyah. Ia memang disiapkan oleh ayahandanya untuk meneruskan kepemimpinan di Suryalaya. Selepas pendidikan dasar di sekolah dan pesantren Suryalaya pada 1930 Abah Anom mulai mengembara untuk menuntut ilmu.
Diawali dengan mengaji ilmu fikih di Pesantren Cicariang, Cianjur, kemudian belajar ilmu alat (ilmu bahasa) dan balagah di Pesantren Jambudwipa, juga di Cianjur, selama dua tahun. Kemudian ia mengaji kepada Ajengan Syatibi di Gentur, masih di Cianjur, dan Ajengan Aceng Mumu di Pesantren Cireungas, Sukabumi, yang terkenal dengan penguasaan ilmu hikmahnya. Belakangan ia memperdalam ilmu silat dan hikmah di Pesantren Citengah, Panjalu, Cianjur, yang diasuh oleh Ajengan Junaidi.

Kematangan ilmu Abah Anom di usia 19 tahun diuji dengan kepercayaan yang diberikan oleh Abah Sepuh untuk membantu mengasuh Pesantren Suryalaya sampai ayahandanya itu wafat pada 1956 dalam usia 120 tahun. Dua tahun sebelum wafat, Abah Sepuh mengangkat Abah Anom menjadi wakil talkin, kemudian menjadi mursyid penuh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, sekaligus pengasuh pesantren.

    Beban tanggung jawab yang begitu berat tertumpu di bahunya pada usianya yang baru 41 tahun, menenggelamkannya ke dalam samudra riadat, alias tirakat pertapaan. Kecintaannya kepada pesantren, tarekat, dan umat melarutkan hari-harinya dalam ibadah, tarbiah, dan doa. “Sepanjang sisa hidupnya ia hampir tak pernah tidur,” tutur salah seorang kemenakan perempuannya yang pernah beberapa waktu mengabdi di rumahnya.


“Abah selalu duduk di pojok ruangan sambil berzikir. Suara tasbihnya yang berkecrek-kecrek selalu terdengar, tak pernah putus. Abah juga selalu berzikir secara khafi, di dalam hati. Setiap kali merasa mengantuk, atau batal, Abah bangkit mengambil air wudu lalu melakukan salat sunah dua rakaat, kemudian kembali duduk untuk berzikir. Begitu seterusnya,” tuturnya. Tentu saja Abah Anom juga melakukan ibadah mahdlah, seperti salat dan sebagainya, dan kegiatan rutin di luar rumah, seperti mengajar, memberikan tausiah, dan mengunjungi beberapa pesantren atau kerabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar